Rabu, 20 Januari 2010

Sekolah Untuk Anak Pemulung

Udin berhenti sekolah di kelas V. Habisnya dia ikut saya pindah ke sini,�tutur Sapna, pemulung di Tempat Pembuangan Akhir Sumur Batu, Bantar Gebang. Sapna mengaku berasal dari Desa Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang, dan sejak dua tahun terakhir dia menjadi pendatang di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang, Kota Bekasi. Di Bantar Gebang, Sapna menjadi pemulung.

Selasa (12/2) siang sekitar pukul 13.00, Sapna mengajak putranya, Khaerudin (13), ke Sekolah Alam Tunas Mulia yang berlokasi di Pangkalan II, Sumur Batu. Tujuannya satu, melanjutkan pendidikan anaknya yang terputus selama dua tahun. �Saya dengar, anak-anak pemulung bisa sekolah lagi dan di (sekolah) sini katanya gratis,� ujar Sapna.

Setelah menunggu sekitar satu jam, Sapna kemudian ditemui Ibu Widi, panggilan akrab Widiyanti, salah seorang pengajar di Sekolah Alam Tunas Mulia tersebut. Widiyanti mengaku terlambat datang karena dia baru selesai mengajar di Jakarta Utara.

Tak berselang lama, Sapna pamit pulang, sedangkan Udin menunggu di sekolah. Sapna mengaku masih harus melanjutkan pekerjaannya memulung sampah dari tempat pembuangan, kemudian memilah dan membersihkannya, sebelum menyetorkan hasil pulungannya ke �bos�. Sampah-sampah itu menjadi sumber penghasilan Sapna sekeluarga sejak dua tahun terakhir ini.

Sapna mengatakan, Udin sudah langsung diterima dan putranya itu boleh ikut belajar siang itu juga bersama anak-anak lain di Sekolah Alam Tunas Mulia tersebut.

Sekitar pukul 14.30, Udin bergabung dengan belasan teman sebayanya. Anak-anak itu berkumpul membentuk huruf U di sebuah balai besar yang menjadi ruang kelas Sekolah Alam Tunas Mulia, sementara Widiyanti, yang mengajar, berada di tengah-tengah.

Hidup dari sampah

Udin adalah satu dari ratusan anak pemulung yang memiliki nasib sama. Selain Udin, ada pula Abdul Kholik (12) atau Tajudin (12), dan belasan anak-anak usia wajib belajar lainnya yang terpaksa berhenti sekolah. Mereka kini melanjutkan pendidikannya di Sekolah Alam Tunas Mulia.

Umumnya, murid di Sekolah Alam Tunas Mulia itu putus sekolah karena mereka ikut orangtuanya memulung ke Bantar Gebang, Kota Bekasi. Di Kecamatan Bantar Gebang ini terdapat dua tempat pembuangan akhir sampah sekaligus, yakni TPA Sampah Bantar Gebang seluas 100 hektar lebih milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan TPA Sampah Sumur Batu yang luasnya hanya satu persepuluh luas TPA Bantar Gebang milik Pemerintah Kota Bekasi.

Keberadaan dua tempat pembuangan akhir sampah itu pada satu sisi menjadi �tambang emas� bagi lebih dari 1.700 keluarga pemulung di Bantar Gebang. Bau busuk sampah yang menyertai segala rupa dan jenis sampah yang ditumpukkan hingga berbukit-bukit itu seolah jaminan bagi kehidupan sekitar 6.000 jiwa yang sehari-harinya mengorek dan mengumpulkan sampah di tempat penimbunan sampah itu.

Namun, di pihak lain, tempat pembuangan sampah itu adalah saksi kerasnya perjuangan hidup bagi pemulung dan keluarganya. Tajudin, misalnya, bercerita bahwa dia dan orangtuanya bekerja mulai pukul 05.00 sampai sore.

Pekerjaan itu dilakoni Tajudin dan keluarganya setiap hari. Setiap satu minggu atau 10 hari sekali, sampah-sampah yang sudah dipilah dan dibersihkan itu disetor ke pengepul atau bos lapak. Siklus itu berulang. �Sudah tahunan,� ujar Tajudin.

Cerita sama dituturkan Abdul Kholik dan sejumlah anak-anak didik di Sekolah Alam tersebut. Anak-anak pemulung itu pun lebih akrab dengan kata tesi dibanding kata sendok atau lebih fasih menyebut istilah PET untuk merujuk botol plastik dan PP untuk gelas plastik.

�Anak-anak di (sekolah) sini lebih dewasa daripada usia mereka sebenarnya,�kata Widiyanti. �Kehidupan yang keras dan penuh perjuangan di tempat pemulungan membuat mereka lebih mandiri dibandingkan anak- anak sebaya mereka,�.ujarnya.

Hak belajar

Ketua Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional (Zero Waste Indonesia) di Bantar Gebang Bagong Suyoto mengatakan, pemulung kerap dipandang sebagai bagian dari komunitas masyarakat kelas rendah. Pekerjaan memulung tidak ubahnya dengan mengemis atau menggelandang.

Selama bergaul dengan para pemulung di TPA Bantar Gebang dan TPA Sumur Batu, Bagong mengaku menjumpai banyak pemulung yang berkeinginan agar anak-anaknya tetap bersekolah.

�Namun banyak kendala, terutama masalah ekonomi. Bagi keluarga pemulung, pendidikan menjadi beban, menyekolahkan anak berarti mengeluarkan biaya besar,�kata Bagong yang juga Ketua Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Kendala lainnya, para pemulung itu tidak memiliki akses ke sarana pendidikan formal. Kehidupan pemulung yang kerap berpindah-pindah karena mereka harus mengikuti �bos��pimpinan pemulung yang mengumpulkan dan menjual hasil pulungan�juga menyulitkan anak-anak pemulung itu belajar di sekolah formal.

Pilihan yang kemudian diambil para keluarga pemulung itu adalah mengajak anak-anak mereka ikut memulung untuk memperbanyak sampah yang mereka kumpulkan.

Kondisi tersebut, diakui Widiyanti, menjadi pendorong berdirinya Sekolah Alam Tunas Mulia pada pertengahan 2004. Sekolah alam ini berawal dari sebuah Taman Pendidikan Quran (TPQ) Tunas Muslim. Sekolah alam ini dimisikan sebagai tempat berkumpul, bermain, dan belajar, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai setara sekolah menengah pertama.

Selain Sekolah Alam Tunas Mulia, di sekitar TPA Bantar Gebang juga ada sekolah negeri dan sejumlah tempat pendidikan atau sekolah nonnegeri bagi warga setempat.

Para pendidik di Sekolah Alam Tunas Mulia itu rata-rata adalah guru di sekolah formal. Mereka bergantian mengajar di sekolah ini dengan imbalan rasa kepuasan hati melihat anak-anak itu dapat mengenyam pendidikan.

Pemulung Cilik

Panas terik menyengat di Sumur batu Bantar gebang. Sehabis sholat dhuhur perut keroncongan. Melangkahkan kaki hendak makan siang menjadi bersemangat. Warung baso podo moro siang itu menjadi pilihan buat saya. Saya memesan Mie ayam tanpa baso. Ditemani dengan air putih membuat tubuh menjadi segar. Pemulung kecil berlari menanyakan barang rongsokan. 'Botol air mineralnya di buang ga om?' katanya. 'Ehm..ambil aja ya?' jawab saya. Anak itu mengambil botol dan beberapa gelas bekas air mineral yang berserakan. Saya kemudian memberikannya satu.

'Bagaimana kalo kita makan bareng,'kata saya. Anak itu belum sempat menjawab. Saya memesankan satu porsi baso. wajahnya tersenyum, matanya berbinar-binar, begitu hidangan basonya datang. Langsung disantapnya dengan lahap baso . Makan berdua menjadi terasa nikmat sekali buat saya.

Saya teringat ada seorang teman yang mengeluh ditengah berlimpahnya materi malah kehilangan rasa nikmat makan apapun. Barangkali nikmat dalam menyantap makanan berbanding lurus dengan status sosial dan gaya hidup kita. Semakin tinggi status sosial seseorang dan gaya hidupnya juga meningkat. Berarti lidahpun menjadi terbiasa menikmati hidangan-hidangan mewah sehingga makin berkurang rasa nikmat makanan-makanan yang sederhana. Makanan yang sederhana begitu nikmat bagi orang seperti saya.

Siang itu kami berdua nambah beli juice jeruk. Dia bercerita setiap hari mulung dari pagi sampai siang untuk membantu ibunya. Setelah mulung, dia berangkat sekolah. Tak lama kemudian dia, selesai makan pemulung kecil itu bergegas merapikan keranjangnya. tak lupa berkali-kali mengucapkan terima kasih. Dari jauh nampak melemparkan senyum.

Sejak itu, setiap saya ke bantar gebang sesekali kami berdua makan siang bareng. Menikmati mie ayam dengan sebotol air mineral. Ditambah Juice jeruk yang begitu seger. Tidak lupa menyantap setiap hidangan dengan penuh syukur, 'Terima kasih Ya Alloh atas karuniaMu dihari ini..' Amin..

Daur Ulang Kondom Bekas

Kondom pada awalnya dimaksudkan sebagai salah satu
alat kontrasepsi untuk tujuan menghalangi terjadinya pertemuan antara sperma
dengan sel telur pada saat coitus sehingga tidak terjadi pembuahan.

Penggunaan kondom sudah lama dikenal oleh manusia.
Konon di Mesir, berdasarkan lukisan kuno, kondom ini sudah ada sejak 3.000
tahun silam.

Juga menurut cerita, sarung penis ini sudah dikenal di Jepang
sejak tahun 1.500-an. Begitu pun menurut di legenda Ynani sudah di kenal
istilah kandung kemih kambing digunakan sebagai alat untuk tujuan protektif
pada saat melakukan senggama.

Saat sekarang, kondom telah mengalami pergeseran juga
perluasan dari maksud dan fungsi serta tujuan penggunaannya. Kondom oleh
beberapa kalangan ahli medis telah dipromosikan sebagai salah satu alat ampuh, agar
tetap nyaman dan aman dalam melakukan praktek perilaku seks bebas.

Kondom, saat ini tak lagi diproduksi untuk pemakai
pria, tapi juga ada yang diproduksi untuk pemakai wanita. Produksi pun telah dilakukan secara massal,
dan pengguna kondom juga telah meningkat dengan pesat.

Berkaitan dengan cerita soal kondom ini, ada satu
cerita menarik yang berhubungan dengan Republik Rakyat China.

Raksasa baru ekonomi dunia ini, dalam kaitan dengan kondom ini, telah dengan cerdik menggabungkan
antara kreativitas inovasi produk dengan kelebihan jumlah populasinya sebagai
salah satu modal tak tersaingi, untuk mendukung keunggulan komparatif bagi produk
industrinya.

Konon menurut kabar, industri barang pernak-pernik di
RRC ini telah memanfaatkan kondom bekas pakai sebagai bahan bakunya. Kondom
bekas pakai ini, diolah kembali selanjtnya diproduksi menjadi berbagai barang
pernak pernik yang salah satu misalnya adalah pengikat rambut wanita.

Kondom bekas pakai ini dibersihkan, selanjutnya ada
yang di potong-potong secara melintang untuk menghasilkan karet gelang yang
kemudian dipasarkan sebagai karet kunciran pengikat rambut wanita.

Selainnya itu, sebagian dimanfaatkan sebagai karet
pelentur yang digabungkan dengan sisa-sisa kain perca, untuk menghasilkan produk
pengikat rambut wanita berbahan kain dengan beraneka bentuk yang menarik.

Hasilnya menjadikan harga jual produk pengikat rambut
wanita hasil produksi mereka menjadi sangat murah, yang terkadang menjadi
seperti tidak masuk akal. Dimana jika dihitung-hitung, harga jualnya itu tak
sebanding dengan harga bahan bakunya secara harga normal.

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas.
Sesungguhnya ada sisi yang dapat diambil sebagai pelajaran berharga bagi
Indonesia. Paling tidak ada beberapa hal yang patut direnungkan, diantaranya
adalah :

Pertama, inovasi dan kreativitas dalam memanfaatkan
barang-barang yang dianggap sebagai limbah untuk bahan baku industrinya.

Lantaran barang limbah, maka boleh dibilang harganya
sudah tidak ada lagi. Boleh dibilang, secara sederhananya, hanya ongkos
memulungnya saja yang dihitung sebagai harga bahan baku tersebut.

Kedua, pemanfaatan keunggulan yang dimilikinya, dalam
hal ini adalah jumlah populasi penduduknya.

Mungkin tingkat pemakaian kondom per kapita di RRC
lebih rendah dibandingkan negara-negara di Eropa atau Amerika, namun karena jumlah
penduduknya yang luar biasa banyak, maka secara total nasional tentu
menghasilkan jumlah yang banyak.

Anggaplah, di RRC hanya satu dari sepuluh penduduknya
yang memakai kondom, sedangkan salah satu negara di Eropa tingkat pemakaian
kondomnya mencapai enam dari sepuluh penduduknya. Tetap saja RRC lebih banyak
jumlah akhirnya, karena jika sepuluh prosen dikalikan satu milyar penduduk berarti
sama dengan seratus juta. Sedangkan enam puluh prosen dikalikan lima puluh juta
penduduk hanya menghasilkan tiga puluh juta saja.

Ketiga, kejelian dan kemauan dalam memanfaatan sumber bahan
baku dan sumber daya nasionalnya secara semaksimal mungkin untuk mendukung
kepentingan industri dalam negerinya.

Sumber bahan baku yang melimpah tadi dipakai
seluruhnya oleh industri dalam negeri RRC. Sampai saat ini, belum ada kabar
bahwa pemerintah RRC mempunyai kebijakan yang mendorong peningkatan keran ekspor
kondom bekas pakai dalam wujud aslinya.

Justru yang terjadi, pasar Indonesia dan pasar
negara-negara lainnya yang dibanjiri oleh produk pengikat rambut produksi RRC
dengan harga jual yang nyaris tak masuk akal.

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas, timbul
rasa was-was dan khawatir jika hal berkebalikannya malahan yang terjadi di
Indonesia.

Walau tak serupa namun bisa jadi ada kaitan logikanya. Salah satu contohnya, jika rotan mentah
dari Indonesia di ekspor keluar. Lalu hasilnya pasar dunia di bidang mebel dan
furniture dibanjiri oleh produk dari negara lain yang diolah dari rotan
mentahnya Indonesia.

Kain perca dari sisa industri konveksi maupun industri
tekstil di ekspor ke RRC. Selanjutnya, pasar domestik Indonesia dibanjiri
dengan produk sapu tangan, kaos tangan, kaos kaki, pengikat rambut wanita dari
bahan kain, yang bisa jadi bahan bakunya adalah kain perca dari Indonesia.

Minyak mentah dan batu bara di ekspor untuk
menghasilkan devisa yang besar bagi cadangan devisa negara. Di sisi lain, harga
energi yang dihasilkan oleh minyak mentah dan batu bara untuk industri dalam
negeri Indonesia menjadi sama harganya dengan industri di negara yang tak
mempunyai sumber bahan baku minyakmentah dan batu bara.

Akhirulkalam, semoga celotehan yang dicoretkan
tersebut diatas itu, yang timbul dari rasa was-was dan kekhawatiran dari orang
awam yang bukan pakar ekonomi bergelar doktor atau phd ini, adalah tidak benar
dan memang tidak terjadi serta tidak akan pernah terjadi di Indonesia.

Wallahualambishshaw ab.

*
Kondom Bekas