Senin, 01 November 2010

Program CSR Yang bersifat Untung Rugi dan Setengah Hati



JAKARTA Senin 01 November 2010 - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengklaim berhasil menyadarkan warga DKI Jakarta untuk hidup bersih dan peduli sampah. Foke mengklaim dari 2.500 rukun warga (RW), 700 RW di antaranya sudah berhasil menata kondisi lingkungan sekitarnya.

Salah satunya dalam mengelola sampah yang diproduksi lingkungan mereka sendiri. Kata dia, kalau untuk urusan sampah saja belum ada kesadaran, maka mustahil Jakarta bisa membereskan masalahnya dengan sangat baik. Foke berharap dengan semakin banyaknya RW yang sadar lingkungan, kesadaran mereka terhadap sampah juga bisa semakin meningkat. Oleh itu, penyadaran warga untuk peduli lingkungan sekarang akan terus digalakan hingga bisa menyebar ke 2.500 RW yang ada.

Menurut data kami (Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional) saat ini 29 RW di Jakarta yang aktif dalam kegiatan penghijauan sbb :

  1. RW 02 Kelurahan Slipi, Jakarta Barat
  2. RW 17 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat
  3. RW 03 Kelurahan kembangan,Jakarta Barat
  4. RW 05 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat
  5. RW 05, Kel. Tanjung Duren Selatan, Kec. Grogol, Petamburan, Jakarta Barat
  6. RW 04 Kelurahan Kedoya Utara, Jakarta Barat
  7. RW 05 Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
  8. RW 02 Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
  9. RW 02, Kel. Cipete Utara, Kec. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
  10. RW 06 Manggarai Selatan, Jakarta Selatan
  11. RW 03, Kelurahan Rawajati,Jakarta Selatan
  12. RW 12 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan
  13. RW 04, Kel. Karet Tengsin, Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat
  14. RW 07 Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat
  15. RW 10 Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat
  16. RW 06 Kelurahan Cempaka baru, Jakarta Pusat
  17. RW 04 Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat
  18. RW 03Kelurahan Malaka Sari, Jakarta Timur
  19. RW 13 Kelurahan Cipinang,Jakarta Timur
  20. RW 08, Kelurahan Ciracas, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur
  21. RW 05, Kel. Bambu Apus, Kec.Cipayung, Jakarta Timur
  22. RW 03 Kelurahan Semper Barat, Jakarta Utara
  23. RW 07 Kelurahan Semper Barat, Jakarta Utara
  24. RW 11 Kelurahan Warakas, Jakarta Utara
  25. RW 07, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
  26. RW 03, Kelurahan Kelapa Gading, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara
  27. RW 03, Kel. Tugu Selatan, Kec. Koja, Jakarta Utara
  28. RW 07 dan RW 08 Kelurahan Papanggo, Jakarta Utara
  29. Kel. Pulau Tidung, Kabupaten Admin. Kep. Seribu

Dari 29 RW di atas yang tidak hanya aktif melakukan kegiatan penghijauan tetapi juga melakukan kegiatan pengelolaan sampah (daur ulang sampah An organic, Bank Sampah, Komposting, Lubang biopori dsb) hanya 10 RW. Wilayah hijau ini masih dalam proses pengembangan dan belum bisa di katakan berhasil. Jika anda berkunjung ke wilayah-wilayah tersebut tingkat keberhasilannya masih dalam ruang lingkup RT setempat saja dan belum tidak tersebar ke RT-RT tetangganya atau secara merata di kawasan tersebut. Sebenarnya semangat warga Jakarta untuk mengelola sampah sangatlah besar namun ada masalah klasik yang selalu di hadapi yaitu masalah ekonomis, dalam hal ini masyarakat sadar betul bahwa sampah bisa memberikan penghasilan tambahan tetapi semangat mereka ini tidak di imbangi oleh peran serta pemerintah dan swasta yang maksimal sehingga perlahan-lahan semangat masyarakat untuk mengelola sampahpun mulai pudar kembali.

Jika saja Pemda DKI dapat memfasilitasi warga Jakarta dalam kegiatan pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan sifatnya tidak sementara (Lomba RW hijau ) mungkin sah-sah saja Foke bilang bahwa ada 700 RW di Jakarta sudah berhasil menata lingkungannya dengan baik (termasuk manajemen sampahnya). Untuk sekedar mengstimulant warganya Pemda DKI menyelenggarakan Lomba Penghijauan yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan terkemuka di Tanah air ini dan memang hasilnya cukup positif sehingga banyak bermunculan RW-RW yang hijau dan asri, serta ibu-ibu kader PKK yang di sulap menjadi kader-kader lingkungan yang kreatif. Namun setelah perlombaan selesai pihak panitia (Pemda dan Swasta) tidak melakukan pendampingan yang intensif dan berkelanjutan sehingga terkesan melepas begitu saja sehingga yang terjadi adalah :

· Munculnya rasa jenuh untuk melakukan aktifitas sadar lingkungan terutama bagi peserta yang tidak masuk nominasi alias kalah karena semangat dari awal memang untuk memenangkan perlombaan

· Apatisme atau rasa putus asa terhadap apa yang sudah di lakukan di karenakan ketergantungan yang begitu besar terhadap Panitia (Motivator, Fasilitator dsb) contoh : Komunitas di hadapkan pada pemasaran produk daur ulang, composting yang tidak kunjung selesai

· Pihak Pemerintah kurang pro aktif dalam pendampingan komunitas peduli lingkungan setelah selesainya lomba

· Pihak Swasta terlihat masih setengah hati untuk melakukan pemberdayaan ini di karenakan persepsi mereka terhadap kegiatan ini masih bersifat filantrofi/kedermawanan dan tidak berlandaskan pada UU Perseroan Terbatas no.40/2007 pasal 74 ayat 1 dan UU no.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah Pasal 14 dan 15.

Pemerintah daerah dalam mengimplementasikan penanganan sampah ini, harus bisa menggandeng perusahaan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berlandaskan UU no. 40/2007 tentang P.T dan UU no.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah serta aktif mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam menghadapi masalah persampahan ini.

Berkenaan dengan kondisi di atas, perlu kiranya dilakukan pengkajian mendalam terhadap berbagai metode pengelolaan sampah yang ditawarkan oleh investor. Pengkajiannya tentu saja meliputi empat aspek utama yang harus diperhatikan yaitu: aspek lingkungan, aspek teknologi, aspek ekonomi dan aspek sosial.


baun Kusnandar

Divisi Pemberdayaan Komunitas

Koalisi LSM Persampahan Nasional

Bantargebang Bekasi Jawa Barat

Rabu, 20 Januari 2010

Sekolah Untuk Anak Pemulung

Udin berhenti sekolah di kelas V. Habisnya dia ikut saya pindah ke sini,�tutur Sapna, pemulung di Tempat Pembuangan Akhir Sumur Batu, Bantar Gebang. Sapna mengaku berasal dari Desa Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang, dan sejak dua tahun terakhir dia menjadi pendatang di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang, Kota Bekasi. Di Bantar Gebang, Sapna menjadi pemulung.

Selasa (12/2) siang sekitar pukul 13.00, Sapna mengajak putranya, Khaerudin (13), ke Sekolah Alam Tunas Mulia yang berlokasi di Pangkalan II, Sumur Batu. Tujuannya satu, melanjutkan pendidikan anaknya yang terputus selama dua tahun. �Saya dengar, anak-anak pemulung bisa sekolah lagi dan di (sekolah) sini katanya gratis,� ujar Sapna.

Setelah menunggu sekitar satu jam, Sapna kemudian ditemui Ibu Widi, panggilan akrab Widiyanti, salah seorang pengajar di Sekolah Alam Tunas Mulia tersebut. Widiyanti mengaku terlambat datang karena dia baru selesai mengajar di Jakarta Utara.

Tak berselang lama, Sapna pamit pulang, sedangkan Udin menunggu di sekolah. Sapna mengaku masih harus melanjutkan pekerjaannya memulung sampah dari tempat pembuangan, kemudian memilah dan membersihkannya, sebelum menyetorkan hasil pulungannya ke �bos�. Sampah-sampah itu menjadi sumber penghasilan Sapna sekeluarga sejak dua tahun terakhir ini.

Sapna mengatakan, Udin sudah langsung diterima dan putranya itu boleh ikut belajar siang itu juga bersama anak-anak lain di Sekolah Alam Tunas Mulia tersebut.

Sekitar pukul 14.30, Udin bergabung dengan belasan teman sebayanya. Anak-anak itu berkumpul membentuk huruf U di sebuah balai besar yang menjadi ruang kelas Sekolah Alam Tunas Mulia, sementara Widiyanti, yang mengajar, berada di tengah-tengah.

Hidup dari sampah

Udin adalah satu dari ratusan anak pemulung yang memiliki nasib sama. Selain Udin, ada pula Abdul Kholik (12) atau Tajudin (12), dan belasan anak-anak usia wajib belajar lainnya yang terpaksa berhenti sekolah. Mereka kini melanjutkan pendidikannya di Sekolah Alam Tunas Mulia.

Umumnya, murid di Sekolah Alam Tunas Mulia itu putus sekolah karena mereka ikut orangtuanya memulung ke Bantar Gebang, Kota Bekasi. Di Kecamatan Bantar Gebang ini terdapat dua tempat pembuangan akhir sampah sekaligus, yakni TPA Sampah Bantar Gebang seluas 100 hektar lebih milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan TPA Sampah Sumur Batu yang luasnya hanya satu persepuluh luas TPA Bantar Gebang milik Pemerintah Kota Bekasi.

Keberadaan dua tempat pembuangan akhir sampah itu pada satu sisi menjadi �tambang emas� bagi lebih dari 1.700 keluarga pemulung di Bantar Gebang. Bau busuk sampah yang menyertai segala rupa dan jenis sampah yang ditumpukkan hingga berbukit-bukit itu seolah jaminan bagi kehidupan sekitar 6.000 jiwa yang sehari-harinya mengorek dan mengumpulkan sampah di tempat penimbunan sampah itu.

Namun, di pihak lain, tempat pembuangan sampah itu adalah saksi kerasnya perjuangan hidup bagi pemulung dan keluarganya. Tajudin, misalnya, bercerita bahwa dia dan orangtuanya bekerja mulai pukul 05.00 sampai sore.

Pekerjaan itu dilakoni Tajudin dan keluarganya setiap hari. Setiap satu minggu atau 10 hari sekali, sampah-sampah yang sudah dipilah dan dibersihkan itu disetor ke pengepul atau bos lapak. Siklus itu berulang. �Sudah tahunan,� ujar Tajudin.

Cerita sama dituturkan Abdul Kholik dan sejumlah anak-anak didik di Sekolah Alam tersebut. Anak-anak pemulung itu pun lebih akrab dengan kata tesi dibanding kata sendok atau lebih fasih menyebut istilah PET untuk merujuk botol plastik dan PP untuk gelas plastik.

�Anak-anak di (sekolah) sini lebih dewasa daripada usia mereka sebenarnya,�kata Widiyanti. �Kehidupan yang keras dan penuh perjuangan di tempat pemulungan membuat mereka lebih mandiri dibandingkan anak- anak sebaya mereka,�.ujarnya.

Hak belajar

Ketua Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional (Zero Waste Indonesia) di Bantar Gebang Bagong Suyoto mengatakan, pemulung kerap dipandang sebagai bagian dari komunitas masyarakat kelas rendah. Pekerjaan memulung tidak ubahnya dengan mengemis atau menggelandang.

Selama bergaul dengan para pemulung di TPA Bantar Gebang dan TPA Sumur Batu, Bagong mengaku menjumpai banyak pemulung yang berkeinginan agar anak-anaknya tetap bersekolah.

�Namun banyak kendala, terutama masalah ekonomi. Bagi keluarga pemulung, pendidikan menjadi beban, menyekolahkan anak berarti mengeluarkan biaya besar,�kata Bagong yang juga Ketua Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Kendala lainnya, para pemulung itu tidak memiliki akses ke sarana pendidikan formal. Kehidupan pemulung yang kerap berpindah-pindah karena mereka harus mengikuti �bos��pimpinan pemulung yang mengumpulkan dan menjual hasil pulungan�juga menyulitkan anak-anak pemulung itu belajar di sekolah formal.

Pilihan yang kemudian diambil para keluarga pemulung itu adalah mengajak anak-anak mereka ikut memulung untuk memperbanyak sampah yang mereka kumpulkan.

Kondisi tersebut, diakui Widiyanti, menjadi pendorong berdirinya Sekolah Alam Tunas Mulia pada pertengahan 2004. Sekolah alam ini berawal dari sebuah Taman Pendidikan Quran (TPQ) Tunas Muslim. Sekolah alam ini dimisikan sebagai tempat berkumpul, bermain, dan belajar, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai setara sekolah menengah pertama.

Selain Sekolah Alam Tunas Mulia, di sekitar TPA Bantar Gebang juga ada sekolah negeri dan sejumlah tempat pendidikan atau sekolah nonnegeri bagi warga setempat.

Para pendidik di Sekolah Alam Tunas Mulia itu rata-rata adalah guru di sekolah formal. Mereka bergantian mengajar di sekolah ini dengan imbalan rasa kepuasan hati melihat anak-anak itu dapat mengenyam pendidikan.

Pemulung Cilik

Panas terik menyengat di Sumur batu Bantar gebang. Sehabis sholat dhuhur perut keroncongan. Melangkahkan kaki hendak makan siang menjadi bersemangat. Warung baso podo moro siang itu menjadi pilihan buat saya. Saya memesan Mie ayam tanpa baso. Ditemani dengan air putih membuat tubuh menjadi segar. Pemulung kecil berlari menanyakan barang rongsokan. 'Botol air mineralnya di buang ga om?' katanya. 'Ehm..ambil aja ya?' jawab saya. Anak itu mengambil botol dan beberapa gelas bekas air mineral yang berserakan. Saya kemudian memberikannya satu.

'Bagaimana kalo kita makan bareng,'kata saya. Anak itu belum sempat menjawab. Saya memesankan satu porsi baso. wajahnya tersenyum, matanya berbinar-binar, begitu hidangan basonya datang. Langsung disantapnya dengan lahap baso . Makan berdua menjadi terasa nikmat sekali buat saya.

Saya teringat ada seorang teman yang mengeluh ditengah berlimpahnya materi malah kehilangan rasa nikmat makan apapun. Barangkali nikmat dalam menyantap makanan berbanding lurus dengan status sosial dan gaya hidup kita. Semakin tinggi status sosial seseorang dan gaya hidupnya juga meningkat. Berarti lidahpun menjadi terbiasa menikmati hidangan-hidangan mewah sehingga makin berkurang rasa nikmat makanan-makanan yang sederhana. Makanan yang sederhana begitu nikmat bagi orang seperti saya.

Siang itu kami berdua nambah beli juice jeruk. Dia bercerita setiap hari mulung dari pagi sampai siang untuk membantu ibunya. Setelah mulung, dia berangkat sekolah. Tak lama kemudian dia, selesai makan pemulung kecil itu bergegas merapikan keranjangnya. tak lupa berkali-kali mengucapkan terima kasih. Dari jauh nampak melemparkan senyum.

Sejak itu, setiap saya ke bantar gebang sesekali kami berdua makan siang bareng. Menikmati mie ayam dengan sebotol air mineral. Ditambah Juice jeruk yang begitu seger. Tidak lupa menyantap setiap hidangan dengan penuh syukur, 'Terima kasih Ya Alloh atas karuniaMu dihari ini..' Amin..

Daur Ulang Kondom Bekas

Kondom pada awalnya dimaksudkan sebagai salah satu
alat kontrasepsi untuk tujuan menghalangi terjadinya pertemuan antara sperma
dengan sel telur pada saat coitus sehingga tidak terjadi pembuahan.

Penggunaan kondom sudah lama dikenal oleh manusia.
Konon di Mesir, berdasarkan lukisan kuno, kondom ini sudah ada sejak 3.000
tahun silam.

Juga menurut cerita, sarung penis ini sudah dikenal di Jepang
sejak tahun 1.500-an. Begitu pun menurut di legenda Ynani sudah di kenal
istilah kandung kemih kambing digunakan sebagai alat untuk tujuan protektif
pada saat melakukan senggama.

Saat sekarang, kondom telah mengalami pergeseran juga
perluasan dari maksud dan fungsi serta tujuan penggunaannya. Kondom oleh
beberapa kalangan ahli medis telah dipromosikan sebagai salah satu alat ampuh, agar
tetap nyaman dan aman dalam melakukan praktek perilaku seks bebas.

Kondom, saat ini tak lagi diproduksi untuk pemakai
pria, tapi juga ada yang diproduksi untuk pemakai wanita. Produksi pun telah dilakukan secara massal,
dan pengguna kondom juga telah meningkat dengan pesat.

Berkaitan dengan cerita soal kondom ini, ada satu
cerita menarik yang berhubungan dengan Republik Rakyat China.

Raksasa baru ekonomi dunia ini, dalam kaitan dengan kondom ini, telah dengan cerdik menggabungkan
antara kreativitas inovasi produk dengan kelebihan jumlah populasinya sebagai
salah satu modal tak tersaingi, untuk mendukung keunggulan komparatif bagi produk
industrinya.

Konon menurut kabar, industri barang pernak-pernik di
RRC ini telah memanfaatkan kondom bekas pakai sebagai bahan bakunya. Kondom
bekas pakai ini, diolah kembali selanjtnya diproduksi menjadi berbagai barang
pernak pernik yang salah satu misalnya adalah pengikat rambut wanita.

Kondom bekas pakai ini dibersihkan, selanjutnya ada
yang di potong-potong secara melintang untuk menghasilkan karet gelang yang
kemudian dipasarkan sebagai karet kunciran pengikat rambut wanita.

Selainnya itu, sebagian dimanfaatkan sebagai karet
pelentur yang digabungkan dengan sisa-sisa kain perca, untuk menghasilkan produk
pengikat rambut wanita berbahan kain dengan beraneka bentuk yang menarik.

Hasilnya menjadikan harga jual produk pengikat rambut
wanita hasil produksi mereka menjadi sangat murah, yang terkadang menjadi
seperti tidak masuk akal. Dimana jika dihitung-hitung, harga jualnya itu tak
sebanding dengan harga bahan bakunya secara harga normal.

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas.
Sesungguhnya ada sisi yang dapat diambil sebagai pelajaran berharga bagi
Indonesia. Paling tidak ada beberapa hal yang patut direnungkan, diantaranya
adalah :

Pertama, inovasi dan kreativitas dalam memanfaatkan
barang-barang yang dianggap sebagai limbah untuk bahan baku industrinya.

Lantaran barang limbah, maka boleh dibilang harganya
sudah tidak ada lagi. Boleh dibilang, secara sederhananya, hanya ongkos
memulungnya saja yang dihitung sebagai harga bahan baku tersebut.

Kedua, pemanfaatan keunggulan yang dimilikinya, dalam
hal ini adalah jumlah populasi penduduknya.

Mungkin tingkat pemakaian kondom per kapita di RRC
lebih rendah dibandingkan negara-negara di Eropa atau Amerika, namun karena jumlah
penduduknya yang luar biasa banyak, maka secara total nasional tentu
menghasilkan jumlah yang banyak.

Anggaplah, di RRC hanya satu dari sepuluh penduduknya
yang memakai kondom, sedangkan salah satu negara di Eropa tingkat pemakaian
kondomnya mencapai enam dari sepuluh penduduknya. Tetap saja RRC lebih banyak
jumlah akhirnya, karena jika sepuluh prosen dikalikan satu milyar penduduk berarti
sama dengan seratus juta. Sedangkan enam puluh prosen dikalikan lima puluh juta
penduduk hanya menghasilkan tiga puluh juta saja.

Ketiga, kejelian dan kemauan dalam memanfaatan sumber bahan
baku dan sumber daya nasionalnya secara semaksimal mungkin untuk mendukung
kepentingan industri dalam negerinya.

Sumber bahan baku yang melimpah tadi dipakai
seluruhnya oleh industri dalam negeri RRC. Sampai saat ini, belum ada kabar
bahwa pemerintah RRC mempunyai kebijakan yang mendorong peningkatan keran ekspor
kondom bekas pakai dalam wujud aslinya.

Justru yang terjadi, pasar Indonesia dan pasar
negara-negara lainnya yang dibanjiri oleh produk pengikat rambut produksi RRC
dengan harga jual yang nyaris tak masuk akal.

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas, timbul
rasa was-was dan khawatir jika hal berkebalikannya malahan yang terjadi di
Indonesia.

Walau tak serupa namun bisa jadi ada kaitan logikanya. Salah satu contohnya, jika rotan mentah
dari Indonesia di ekspor keluar. Lalu hasilnya pasar dunia di bidang mebel dan
furniture dibanjiri oleh produk dari negara lain yang diolah dari rotan
mentahnya Indonesia.

Kain perca dari sisa industri konveksi maupun industri
tekstil di ekspor ke RRC. Selanjutnya, pasar domestik Indonesia dibanjiri
dengan produk sapu tangan, kaos tangan, kaos kaki, pengikat rambut wanita dari
bahan kain, yang bisa jadi bahan bakunya adalah kain perca dari Indonesia.

Minyak mentah dan batu bara di ekspor untuk
menghasilkan devisa yang besar bagi cadangan devisa negara. Di sisi lain, harga
energi yang dihasilkan oleh minyak mentah dan batu bara untuk industri dalam
negeri Indonesia menjadi sama harganya dengan industri di negara yang tak
mempunyai sumber bahan baku minyakmentah dan batu bara.

Akhirulkalam, semoga celotehan yang dicoretkan
tersebut diatas itu, yang timbul dari rasa was-was dan kekhawatiran dari orang
awam yang bukan pakar ekonomi bergelar doktor atau phd ini, adalah tidak benar
dan memang tidak terjadi serta tidak akan pernah terjadi di Indonesia.

Wallahualambishshaw ab.

*
Kondom Bekas

Rabu, 21 Januari 2009

Kasus TPA Bantar Gebang


MALAPETAKA SAMPAH

oleh:
Bagong Suyoto

Kecepatan teknologi dalam menyediakan kebutuhan umat manusia telah mengubah karakter dan laju timbulan sampah. Presentase komponen sampah non organik semakin meningkat dan bervariasi. Komponen yang sifatnya non alami ini tidak mudah terurai dan sulit kembali ke siklus alam sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah keseluruhan timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir. Akibatnyakebutuhan akan TPA semakin hari semakin meningkat.
Teknologi telah mampu mendaur ulang sampah dan mengembalikan sebagian besar komponennya ke siklus alam. Teknologi telah mampu mengolah sampah menjadi bahan baku sekunder (secondary materlias) untuk menggantikan bahan mentah yang jumlahnya sangat terbatas di bumi. Tetapi hingga kini belum ada satu teknologipun mampu mengolah sampah tanpa meninggalkan sisa. Sejauh ini teknologi telah berhasil mengurangi volume sampah dan dengan demikian juga kebutuhan lahan untuk menimbunnya. Kebutuhan lahan untuk TPA akan selalu ada walaupun semakin sulit pengadaannya karena lahan semakin terbatas.
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, terutama di kota-kota besar tidak hanya berpengaruh langsung terhadap jenis dan jumlah timbulan sampah tetapi juga semakin mempersulit pemerintah untuk menyediakan lahan TPA. Hal ini sangat terasa sekali, ketika suatu kota seperti Jakarta tidak dapat menyediakan lagi lahan TPA yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Dalam situasi demikian maka dapat terjadi konflik jika masing-masing saling bersikeras dalam pendiriannya. Pemerintah berpikir, tetapi rakyat yang merasakan. Jika pemerintah berdalih teknologi, tentu tidak selalu benar. Karena semua teknologi- baik incenerator, recycling, sanitary landfill maupun pemilahan- adalah bagus jika diterapkan sesuai dengan kondisi. Untuk itu pertimbangan sosial dan ekonomi menjadi penting. Tidak kalah pentingnya adalah jalur transportasi dan tempat pengolahan sampah yang tidak boleh terlalu dekat pemukiman agar penduduk merasa aman atas kesehatannya. Prinsip penanganan sampah adalah zero waste (meminimalisasi timbulan sampah dengan menghindari segala aktifitas yang berpotensi untuk menghasilkan sampah), recycling (menggunakan kembali komponen-komponen yang masih dapat digunakan dan mendaur ulang komponen-komponen yang tidak secara langsung dapat digunakan) serta sanitary (menjauhkan sampah dari masyarakat sehungga tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan). Pengelolaan sampah adalah public service dan tidak akan berhasil tanpa kesepakatan masyarakat, pemerintah dan pengelola. Sampah membutuhkan penanganan dihulu dan hilir. Buku ini membahas kemelut sekitar masalah persampahan yang sangat erat hubungannya dengan teknologi, peraturan dan dampak kesehatan masyarakat. Penulis telah secara tekun meneliti, mengamati dengan turun langsung ke lapangan, mengumpulkan data-data, terutama yang berkaitan dengan seluk beluk persampahan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi. Semoga buku yang informatif ini dapat di gunakan sebagai bahan analisis oleh masyarakat dan pemerintah dalam menangani sampah. Sekaligus sebagai input perbaikan kebijakan pengelolaan sampah kini dan mendatang.
Jakarta, Desember 2004
Dr.rer.nat.H.Widyatmoko

Sabtu, 10 Januari 2009

SINOPSIS BUKU PEMULUNG SANG PELOPOR 3R SAMPAH


Sejak 1960-an atau 1970-an pemulung sudah berbuat mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur-ulang sampah ketika masyarakat, dunia usaha dan pemerintah belum peduli. Aktivitas itu dikenal sebagai penerapan 3R (reduce, reuse, recycle) sampah. Pemulung memfokuskan diri pada sampan non-organik, porsinya 30% dari total sampah kota. Jumlahnya ribuan, bahkan jutaan pemulung bersama keluarganya menambatkan hidup pada sampah. Kegiatan pelopor 3R ini menciptakan lapangan kerja, ikut meningkatkan kebersihan kota, memperpanjang umur TPA, dan mengembalikan sampah menjadi sumberdaya (return to resouces). Usaha pemulung memberi aktivitas turunan seperti perlapakan, pencucian plastik, pencacahan plastik, daur ulang, pabrikan terus berkembang menjadi suatu kekuatan bisnis sangat besar. Mereka memiliki networking sangat luas dan kuat di dalam dan luar negeri.

Pantaslah kita menjulukit Pemulung Sang Pelopor 3R Sampah. Dulu populer dengan sebutan Laskar Mandiri. Penghargaan ini merupakan suatu keberanian yang ditulis dengan tinta emas. Sebagai pertanda semakin seriusnya kita melaksanakan prinsip-prinsip 3R, dan menguatkan sentuhan dan apresiasi atas mereka yang telah berjasa besar. Aktivitas mereka selayaknya diintegrasikan dengan kebijakan pemerintah, apalagi sekarang kita sudah mempunyai Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah.

”Mungkin belum pernah lebih penting daripada sekarang untuk mengatakan apa yang mitos katakan: bahwa humanisme yang teratur tidaklah dimulai dari dirinya sendiri, tetapi mengembalikan hal-hal pada tempatnya. Dia menempatkan dunia di depan kehidupan, kehidupan di depan manusia, dan penghormatan kepada yang lain di depan cinta diri. Inilah pelajaran yang oleh orang-orang yang kita sebut ”Orang biadab” ajarkan kepada kita: pelajaran tentang kerendahan hati, kesopanan dan kebijaksanaan di hadapan dunia yang mendahului spesies kita dan akan mempertahankan kehidupannya”, kata Claude Levi-Strauss dalam “A Short of Pope”, Psycology Today (1972).



Muhaemin Bin H Umar, Tokoh Pemulung Asal Cirebon



Pengantar


Saya senang kalo ada buku tentang kehidupan pemulung. Apalagi memberi penghargaan. Dari dulu hidup pemulung berdikari di atas kaki sendiri. Saya ini pemulung tua mungut sampah sejak di Jakarta, belum ada orang atau lembaga yang memberikan penghargaan pada pemulung. Dulu pernah ada sebutan Laskar Mandiri. Bahkan di kawasan TPA Bantar Gebang ada pengurusnya, tapi mati entah kenapa?

Sejak tahun 1992 saya tinggal di Cikiwul RT 004/Rw 004 punya KTP dan KK di sini tapi paribasanya nerima uang bau Rp 50.000 per bulan, ora pernah. Juga uang BBM atau uang sumbangan pemerintah lainnya. Karena saya udah lama tinggal di sini udah nggak diakui di kampung, pemilu dan pemilihan kepada desa nggak diberi kartu untuk milih, seperti non-partai.

Untuk membiayai anak sekolah di SD, SMP saja sulit, saya harus berjuang sendiri mati-matian. Paribasa ada yang datang memberikan beasiswa untuk meringankan beban orang miskin. Untuk menyekolahkan anak-anak, ada yang lulus STM udah habis motor empat, saya jual semua. Saya perjuangkan bagaimana caranya untuk anak-anak.

Dulu saya sering didatangi pengurus ISJ, setelah pindah ke Bantar Gebang ketemu dengan YDI. Saya diajak pertemuan di Bandung, Bogor nginep di hotel. Kalau ada tamu dari Jerman, Jepang, Perancis tetap diantar ke saya. Ketemu saya. Nama saya sudah beredar di sana, di luar negeri. Pernah saya mau dibawa ke Pilipina supaya mempelopori apa yang saya lakukan di sini. Orang asli Ciketing yang diajak si Nur. Saya nggak mau bagimana dengan bahasanya, di sana.

Kalo saya dari Kali Rahayu Losari, Cirebon. Lahir 2 September 1945. Ya sudah tua, gigit saya tujuh sudah copot, untu walang udah copot. Sedang istri saya dari Indramayu, kelahir 11 Januari 1960. Sekarang punya 5 anak, anak pertama Aris lahir tahun 1980. Makanya saya sering disebut Pak Aris. Anak kedua Afiri lahir tahun 1982. Anak ketiga Cartilin lahir tahun 1986. Cartilin setahun lalu lulus STM namun masih menganggur. Sekarang cari kerja harus pakai duwit, jutaan lagi. Anak keempat Dohir lahir tahun 1986. Dan anak terakhir Akram, hanya tamat SD. Ia tak mau sekolah karena mau bantu orang tuanya, katanya, kasihan pada bapak dan ibunya udah tua. Sedang cucu ada dua orang yang tinggal di gubuk ini.

Cita-cita saya supaya anak-anak tidak mulung sampah, agar ada kemajuan. Supaya tidak jadi orang hinaan. Apa pun kerja mungut sampah tetap saja jadi hinaan. Makanya saya ingin ada anak yang kerja di perusahaan atau pabrik. Anak saya yang ketiga inginnya berangkat ke Arab Saudi, tinggal cek kesehatan. Kalau lulus ya bisa berangkat ke Arab, biar ada perubahan.

Kalau mulung tiap bulan dapat Rp 800 ribu atau Rp 1 juta, ya habis dimakan. Apalagi hasil pungutan makin menurun, karena orang kota semakin pintar. Sampah dari hotel udah disortir, sedang tempat lain di kota sudah dipungut pemulung kota dan pekerja kebersihan. Maka sulit mendapat mainan, plastik yang berharga, makannya orang berebut plastik kresek.

Belakangan jumlah pemulung di TPA Bantar Gebang terus tambah. Kalo dulu DKI minta agar pemulung mungut sampah jaraknya 2 sampai 3 meter dari beko, buldozer sekarang mau muter keranjang aja susah. Dulu dari Losari Cerebon yang ke sini cuma saya, sekarang hanya pamong desanya saja yang nggak ikut. Malah kalo bayar pajak atau iuran apa pamongnya datang kesini.

Apa pun sulitnya kehidupan pemulung pemerintah kurang memperhatikan. Kadang-kadang kita tak boleh naruh gerobak dekat kolam limbah (IPASL), naruh barang di pinggir-pinggir pagar arcon DKI. ”Jangan taruh disini. Tolong barang dimasukan, jika enggak nanti dibakar”, perintah petugas TPA.

Sebulan lalu gara-gara barang-barang pemulung di sini di tumpuk di pinggir arcon, jembatan untuk lewat pemulung dan warga dibongkar sama beko. Saya udah meminta pada petugasnya, dia bilang masa bodoh bukan urusan kami. Tetap saja jembatan satu-satunya dibongkar tanpa mempedulikan saya. Saya lapor pada Ratno, kemudian Ratno bilang ke posko TPA. Kesokan harinya saya perbaiki lagi habis Rp 600 ribu. Buntutnya petugas itu kalo ketemu saya mlengos, nggak mau tanya.

Ketika pemulung sakit atau luka kena beko atau buldozer nggak ada yang memperhatikan. Saya sendiri pernah ke beko, keurugan sampah. Kalo kena beling, paku udah langganan. Pernah saya kena beling dan seng lampu neon, kaki saya bolong, sakit luar biasa. Lalu saya kasih ludah, besoknya saya bisa mungut lagi. Teman-teman dan orang DKI di TPA heran, katanya mungkin punya ilmu tertentu. Saya bilang, saya ludahi dan karena Pangeran ngijabahi suruh mungut sampah, kita arep mangan je. Paribasanya hidup saya udah tabah dan nyatu sama sampah.

Saya masih ingat janji Pak Manteri Lingkungan, Pak Nabiel, tahun 2002 dulu. Waktu itu pemulung ketemu di kantornyaJakarta. Pak Menteri janji mau kasih air ledeng atau air bersih, kasih lampu, ada dokter keliling kalo pemulung kena paku atau beling, kasih tempat kerja supaya lebih aman. Tapi sampe sekarang janji Pak Menteri itu nggak ada kabulnya. Saya harus nanya ke mana, ke Pak Menteri itu, sekarang ke mana Pak Menteri, apa udah ganti. Sebenarnya saya mau ketemu Pak Menteri Lingkungan lagi, entah kapan, mau nanyai janjinya yang dulu.

Bantar Gebang, 1 September 2007

Muhaemin Bin H Umar, Tokoh Pemulung Asal Cirebon